Oleh : Febri Kurniawan, SH.,MH
Orang sangat santer sekali mengatakan bahwa kebenaran itu berada pada kebenaran Tuhan. Itulah yang mendorong legitimasi agama hidup dalam masyarakat. Mengatakan hal yang disebut ranah kebaikan adalah berasal dari Tuhan. Negara ini pun dengan rendah hati dan penuh rasa syukur mengakui bahwa kemerdekaan adalah atas berkat rahmat ALLAH yang Maha Kuasa ( pembukaan UUD 1945 ). Dengan pengakuan ini pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan suatu kehidupan berbangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur yang mengandung kewajiban moral. Segala sesuatu secara implisit disampaikan bahwa untuk menjalankan cita-cita kebangsaan didasarkan pada moralitas. Moral sendiri dalam pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1989:592 ) mengartikan bahwa moral adalah diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, serta asusila. Menurut Kant, dalam filsafat moral nya , bahwa moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum bathiniah ,yakni apa yang dipandang oleh kant sebagai “kewajiban”. Moralitas akan tercapai bukan karena menaati hukum sebagai akibat dari konsekuensi hukum melainkan karena timbul kesadaran bahwa itu adalah kewajiban. Dengan demikian, nilai moral baru akan ditemukan di dalam moralitas. Inilah yang saya pahami para Founding persons dari bangsa ini mempunyai firasat yang kuat terhadap generasi penerusnya bahwa akan ada banyak sekali keberagaman yang muncul dikemudian hari sehingga menekankan adanya moralitas yang berkesuaian untuk para generasi dalam melanjutkan penyelenggaraan negara dan berbangsa.
Dalam pancasila sila pertama yang dengan tegas mempunyai kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan pemahaman kepada kita untuk tahu akan moralitas terhadap sesama seperti yang disampaikan kant bahwa hanya Tuhan yang tahu dorongan bathin seseorang bernilai Moral ( Tjahjadi 1991: 48 ). Soekarno dalam pidatonya nya 1 juni 1945 dihadapan para anggota BPUPKI “marilah kita di dalam Indonesia Merdeka ini kita susun sesuai dengan itu , menyatakan : bahwa prinsip kelima dari negara kita adalah Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang Luhur, Ketuhanan yang hormat dan menghormati satu sama lain.” Dari itu kita bisa menyimpulkan juga bahwa kalimat sila pertama bukan lah harus kita tafsirkan secara harafiah saja melainkan ada unsur essensial yang seharusnya kita gali yaitu adalah ada moralitas di dalam Ketuhanan. Tidak berarti kita ini hanya mengaitkan dogamitisme agama saja, melainkan juga mengaitkan subtansi agama juga. Namun, sekarang kita banyak melihat akan hal-hal yang seolah-olah mempunyai otoritas tertinggi dalam menafsirkan religiusitas untuk negara. Mengaitkan satu seragam agama saja dalam penyelenggaraan negara, hanya mengaitkan satu seragam saja untuk menentukan pedoman-pedoman dalam negara yaitu satu agama saja yang bisa berkontribusi banyak karena didukung oleh istilah Mayoritas.
Ketika kita memaknai akan religiusitas agama pada diri kita, sejauh mana kita mampu mengerti tentang hal itu. Negara sangat menjamin hak warga negara nya yang tercantum dalam pasal 29 ayat 2 UUD NRI 1945, bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Tetapi mengapa ketika seseorang mempunyai pemikiran dan tafsiran terhadap agama nya selalu dilarang dengan landasan UU no 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/Atau Penodaan Agama. Siapa yang berhak mempunyai otoritas penuh terhadap penafsiran agama?. Jangan kan berbeda agama, dalam satu agama bisa mempunyai mahzab berbeda-beda, ketika satu sama lain mempunyai perbedaan kemudian dengan seenaknya dianggap kafir atau pun sesat dan dilarang di Indonesia. Negara sendiri sudah menjamin perbedaan itu bahkan pancasila sangat memberikan ruang yang penuh terhadap pemikiran-pemikiran sejauh tidak menindas kemanusiaan karena ketika membaca makna dari pancasila kita tidak bisa melepas ataupun membuat puzle per sila. Orang bisa mempunyai ajaran yang berbeda, ibadah yang berbeda dan mempunyai penafsiran terhadap agama yang berbeda. Tetapi itu hanyalah kebebasan Intelektual seiring dengan perkembangan pemikiran manusia dan tingkat pengalaman berpikir. Tidak ada otoritas lembaga yang bisa menentukan arah penafsiran itu dalam ketatanegaraan. Kalaupun ada lebaga yang sering mengeluarkan fatwa-fatwa yang melarang, melabeli sesat dan kafir bagi pemahaman yang lain dalam hali ini adalah MUI, pertanyaan nya adalah apa jenis kelamin MUI dalam SOTK negara?. Atas legitimasi apa sehingga bisa melarang suatu pemahaman masuk dan berkembang?. Kalau kita mengacu pada pancasila dan pasal 29 ayat 2 UUD NRI 1945 , bahwa kita diberikan hak untuk melakukan apapun yang terpenting adalah tetap berkebudayaan, berbudi pekerti luhur dan hormat-menghormati satu sama lain, bukankah itu tidak akan mengancam kebangsaan kita?. Sebab perbedaan dalam pemahaman intelektual, atas nama agama orang bisa membunuh, atas nama agama orang bisa mendiskriminasi, atas nama agama orang bisa mengusir, atas nama agama orang bisa melarang satu sama lain. Apakah itu bentuk dari beragama?.
Tidak dipungkiri, komunitas dan perkumpulan agama sangat membantu peran kemerdekaan Indonesia yang masuk melalui partai ataupun pergerakan. Namun sekarang hanyalah politik identitas yang didengung-dengung kan dan diagungkan tanpa melihat substansi apa itu agama dan peran agama dalam menjaga keberagaman di negara ini. Ada berapa banyak orang yang dihancurkan rumah nya di tasikmalaya, ada berapa banyak saudara kita yang diusir dari kampung halaman nya di sampang, ada berapa banyak orang yang dipaksa untuk bertobat ala mayoritas dan meninggalkan pemikiran nya, ada berapa banyak orang yang dibakar tempat ibadahnya, dirusak rumahnya, dipukul badan nya dan dipersulit membangun tempat ibadah nya. Ikut dalam membantai dan membenci serta mendiskriminasi para saudara-saudara kita yang merupakan anggota PKI, apakah karena PKI dianggap tidak berTuhan , kita bisa membunuhnya? Apa definisi dari berTuhan? Mengaku berTuhan tetapi melakukan penghinaan terhada ciptaan Tuhan. Bukan kah PKI lebih baik dalam program nya yang konsisten membantu rakyat kecil dibanding dengan partai-partai sekarang yang mengaku beragama tetapi tidak punya rasa humanis terhadap rakyat kecil. Apakah legitimasi agama bisa sebagai pembelaan pembenaran melakukan hal itu? Dimana peran agama dalam meneggakkan nilai-nilai humanis dalam individu ketika yang dipelajari hanya dogmatis nya saja.
Dalam masa perjuangan, para nasionalis ketimuran khususnya asia menggunakan agama sebagai pembangkit semangat nasionalisme, lain dengan eropa yang semangat nasionalisme nya bangkit karena meninggalkan agama ( Emerson 1960 : 158). Tetapi sekarang hanyalah sebuah segregasi kekuasaan saja agama bisa dijadikan tameng sekaligus pedang untuk bertahan dan menyerang lawan yang notabene adalah saudara sebangsa setanah air itu sendiri. Kita sibuk dengan akhirat tetapi kita buta akan dunia.
Dengan pemaparan diatas , kita bisa mengoreksi pada diri kita, apakah kita sudah menegakkan kemanusiaan terhadap sesama dalam menegakkan religiusitas dalam diri kita. Jangan pernah kita membenci anarki tetapi kita sendiri melakukan anarki demi kesempurnaan dalam memeluk agama yang mungkin dianggap sebuah kebenaran yang belum tentu benar( relativisme kebenaran). Jangan pernah kita menindas kemanusiaan hanya demi nama Tuhan, karena itu bukan lah sebuah kebenaran.
Ketika kita masih menyampingkan Hak asasi manusia bagi setiap orang untuk mengilhami pemikiran agama mereka masing-masing demi kebenaran agama yang kita pahami. Sejauh mana nilai moralitas dalam pemahaman agama kita. Maka kita patut bertanya pada diri kita. Seberapa pentingnya agama?