Oleh : Ryan Z
Di hamparan bumi Ogan Komering Ulu Timur, di bawah naungan langit yang kerap diselimuti debu pembangunan, terhampar kisah pilu seorang pria tua bernama Ali Imron. Tujuh puluh purnama telah berganti, namun gurat usia di wajahnya tak mampu menyembunyikan luka yang menganga: luka atas tanah, luka atas hak, luka atas kebun karet yang telah menjadi saksi bisu jejak hidupnya.
Lahan, sejengkal tanah yang adalah nyawa, dan kebun karet yang mengalirkan rezeki, kini hanya tinggal kenangan di ingatan. Direnggut paksa, seperti embun pagi yang sirna ditelan mentari, demi proyek jalan keromongan bandara—sebuah cita-cita kemajuan yang diukir di atas derita.
Enam tahun. Enam tahun lamanya, di bawah terik dan hujan, langkah kaki renta Ali Imron tak pernah lelah mencari keadilan. Dari pintu pemerintah daerah yang dingin dan sepi, hingga lorong-lorong “keadilan” yang penuh janji kosong, ia telah melabuhkan segala harap. Pena pengacara pertama dan kedua telah menari di atas kertas, merangkai kata-kata hukum, namun angin keadilan tak kunjung berhembus, hanya meninggalkan hampa.
Kini, di penghujung perjuangan, sang kakek tak sendiri. Bersama hati-hati yang peduli dan pengacara terakhir yang menjadi tumpuan asa, ia menjejakkan langkah ke markas besar Bhayangkara. Pasal 385 dan 170 KUHP menjadi panah terakhir yang ia lepaskan, berharap gemanya mampu menembus dinding-dinding kebisuan. Namun, hingga detik ini, pemerintah daerah Ogan Komering Ulu Timur tetap membungkam, seolah tak ada suara di balik dinding kezaliman itu.
Akankah tiba hari di mana keadilan menyapa, membasuh luka yang mengering? Atau akankah kisah Ali Imron menjadi noktah hitam dalam lembaran pembangunan, sebuah pengingat abadi bahwa di balik kemajuan, terkadang ada hati yang remuk dan hak yang terenggut tanpa kata maaf?